Anak Kos Itu Identik dengan Mie Rebus, Tren atau Kebutuhan?
Bagi anak muda yang semangatnya masih berapi-api, acapkali tak sinkron dengan keprihatinan hidup saat tinggal di kos-kosan. Duit cekak. Sedang hidup harus terus berjalan. Maka, dipilihlah mie rebus sebagai teman makan sehari-hari. Meski terkadang bosan, tapi mau bagaimana lagi?
Berangkat dari kebutuhan mendasar tersebut, banyak produsen mie instan yang berlomba-lomba memproduksinya dalam jumlah besar. Rasanya pun bervariasi. Jadi, mie kemasan tidak lagi dikonsumsi dalam keadaan darurat, tetapi terjun ke berbagai keadaan. Termasuk saat hadir di tengah-tengah keluarga yang lagi menonton televisi.
Dengan berbagai inovasi tersebut, anak muda yang hidup di kos-kosan semakin bahagia. Sebab, banyak alternatif rasa dan tampilan yang mewarnai mie kemasan. Kini tidak lagi hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan darurat, tetapi lebih dikondisikan sebagai gaya hidup.
Wajar jika sekarang muncul kredo, bahwa bukan anak kos sejati jika tak kenal dengan mie instan yang hanya sebentar rebus, langsung jadi. Kebutuhan akan mie kemasan tersebut semakin menggila lagi di era modern dan serba internet seperti sekarang. Sebab, muncul influencer-influencer yang mengkampanyekan makan mie instan lewat media sosial.
Misalnya media sosial yang lagi booming seperti Instagram. Lewat influencer tersebut, meski hanya sekali posting, tetapi sangat ampuh menarik calon pembeli untuk turut menikmatinya. Maklum, anak-anak muda di Indonesia suka dengan yang lagi tren. Seakan-akan tidak mau dianggap ketinggalan zaman.
Di luar masalah tren versus kebutuhan, ada lagi satu masalah pelik yang kerap mengudara, yakni soal bahan pengawet. Acapkali, kita temukan bahan-bahan pengawet ada di mie rebus. Lebih gila lagi, pernah masuk berita, bahwa mie kemasan yang dijual ke pasaran mengandung bahan khusus seperti lilin.
Jadi, mie yang baru saja dibuka dari kemasan harus direbus minimal dua kali agar aman pas dimakan. Apakah setelah itu, tren makan mie instan masih berlanjut? Masih, sebab konsumen, khususnya anak kos-kosan cenderung tidak peduli. Asalkan praktis dan cepat saji, beres. Soal risiko dipikirkan belakangan.
Untuk masalah itu, sepertinya para produsen sudah mulai mengantisipasi. Tapi tidak sedikit pula yang mempertahankan bahan tersebut dengan alasan meminimalisir biaya produksi sekaligus biar tahan lama. Barangkali dampaknya memang tidak begitu terasa dalam jangka pendek. Tapi dalam jangka panjang, siapa tahu.
Salah satu yang awas dan peduli dengan masalah tersebut adalah Lemonilo. Brand lokal tersebut selalu meluncurkan mie instan dengan bahan organik. Jadi lebih ramah lingkungan dan bisa dikonsumsi oleh siapa saja dan kapan saja. Sayang kalau hanya gara-gara mie instan, kita justru absen dengan kepentingan masa depan kita sendiri.
Jika mie kemasan dikonsumsi gara-gara terpikat oleh tren, rata-rata memang tidak peduli dengan dampak terhadap kesehatan tubuh. Begitu pula jika dikonsumsi dengan alasan kebutuhan mendesak atau darurat. “Adanya mie instan yang mengandung bahan lilin, ya mau bagaimana lagi? Ya kalau Lemonilo ada di warung. Kalau tidak?”
Sebaiknya jangan begitu. Kalau makanan yang dikonsumsi sehat dan aman, bukankah dampak positifnya mutlak milik kita? Energi tercukupi, pikiran cerdas terjaga, dan tentunya tidak ketinggalan tren. Dengan mendukung brand lokal yang unggul dari segi bahan dan tampilan, sama halnya dengan mendukung produk Indonesia agar terus bisa berkembang.
Lagi pula, mie rebus yang diproduksi oleh Lemonilo bisa dipesan via online, lo! Kalau mie instan buatan Lemonilo belum tren di wilayahmu, kenapa tidak kita bikin tren sendiri saja? Siapa tahu dari jalan itu, Anda bisa menjadi influencer yang tidak kalah populer dari Awkarin, Anya Geraldine, dan sebagainya. Anak kos yang serba kreatif pasti bisa.